advertisement
Bukek Siansu Jilid 25 - Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu
sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau
dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang
bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan.... girang bukan
main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun
memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah
itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga
amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di
kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa!
Dia sudah jatuh cinta! dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya
akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan
tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia
duduk bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang
melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat
dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk
lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah,
Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah tanda bahwa
hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.
Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di
tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat
sebentar merah, melamun dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa
perutnya seperti dibakar!
"Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah melompat
keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan
sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan membentak,
"Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu
silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia
sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang
memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo.
"Eh-eh, apakah kau ini orang gila?"
Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua
pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu
mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara
itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat
itu sama marahnya!
"Kau.... kau.... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani
jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki.
Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas
dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini
mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor
cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti
Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia
menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia
hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke
arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg... Wuuuuttt......!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba
mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah
senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang
tidak kalah berbahaya.
“Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil
menangkis serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan.
Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang
yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat
luar biasa itu. Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan
pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok
telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa
berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya.
Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia
mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar
amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan
kirinya menyambar sinar-sinar merah. Swat Hong mengeluarkan suara mendengus
dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulung-gulung
sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua
dapat dipukul runtuh.
"Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar
pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan
sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Seolah-olah semua jalan
keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya
berubah menjadi sebatang benda keras yang diputar-putar, melindungi tubuhnya.
Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua
batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali
ke arah tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain
baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan "menangkap" dua
batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih
berderet rapi itu!
Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main dan pada saat itu, Swat
Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan
Hui dapat mengelakkan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi
kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh!
Jurus-jurus terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui
terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung pedangnya!
"Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin
Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan
tangan kiri. "Sumoi....! Sukur kita dapat saling bertemu di
sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main.
Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya, tadi
dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan
menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu dapat meloncat keluar dan
kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya!
"Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke
arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang orang!"
"Kalau begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang
Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya!
"Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah-marah?"
Sin Liong terpaksa berlompatan ke sana-sini mengelak karena sambaran pedang di
tangan sumoinya itu bukan main-main!
"Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan
dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya.
Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di
situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat
datang bersama?
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan
karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan
puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian
depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka
berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda
ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis
cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa
gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis
ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam. Hal ini
akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada menyelidiki dari luar tak
berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu!
Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada
seorang laki-laki keluar dari semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat
menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah
Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar.
"Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia
mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya, menyepak dan
menampar.
"Plak-plak-plak.....! Wah-wah..... galak benar!" Kwee Lun
kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya
kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar!
Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun
karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa
yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita,
kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang
terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak
keduanya saling pandang, kemudia timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah.
Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong, hatinya gelisah
memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar.
"Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak
menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar....!!" Cambuk buntut ikan hiu itu sudah
meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja
kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak
buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi
besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu
berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk.
"Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat
cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku
bukan anak buah Tee-tok atau racun manapun juga!"
Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan
kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar
dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee Lun tetap dapat mengelak dan
meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu
dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan
tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti)
yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi
lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas
memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki.
"Berhentilah dulu dan kita bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin
marah dan kini dia sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua
senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!
"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam
bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan
sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!" Bunga api berpijar
dan keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi.
Kipas bertemu dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing
menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu
sudah menerjang lagi.
"Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis
sekuatnya dan mereka terdorong mudur.
"Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus?
Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku seperti
orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh,
kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu
mengerikan!"
Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong
oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa....
eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di
sini!"
"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru
pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang
menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!" Kwee Lun terkejut
dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi
kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah
musuhnya!"
"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan
penyelidikan. Aku mendengar ada biruang diadu dengan harimau, pemilik biruang
itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang sinting!'
"Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau
siapa?"
"Aku baru saja meninggalkan pemilik biruang itu yang menjadi
sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong
mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang
senjatanya sudah menggetar ditangannya.
"Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu
itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari
julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejamnya bukan main.
Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik biruang, tentu akan dibunuhnya!"
"Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali.
"Celaka....!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat
lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka
melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak
ke sana-sini.
Ketika Kwee Lun melihat sahabatnya itu menerjang seorang pemuda dengan
mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biarpun
bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah
menyentuhnya, dia sudah menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil
membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang dan
matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata di
tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki,
"Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka
saling serang dengan serunya!
Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong
juga sudah meloncat ke belakang lalu berkata, "Jangan bertempur! Soan Cu,
mundurlah....!"
"Liong-ko, biarkan aku bertemput dengan gajah ini sampai
selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!"
"Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...." Kwee Lun
terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada
Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong
memperkenalkan .
"Eh.... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya.....??"
Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku ini memang
kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang
betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat dan
menjadi malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati
Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi
dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang
galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil
berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah sumoi dari
Kwa-taihiap...."
"Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong berkata malu, kemudian
memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun,
murid dari Lam Hai Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang!
Dan Nona adalah Sumoi dari Kwa-taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami
kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih
cemberut. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari
orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di
dalam." Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki
gedungnya dan dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya,
Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga
merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal
lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang
dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan
hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas
memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya,
juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap
adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai
suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya
terhadap Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah
seluruh perasaan hatinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas
lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus
terang, gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling
serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama
mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada pemuda
perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya
sungguh-sungguh dan kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong,
"Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau
Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran Han Ti
Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik
perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia
kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
"Ah, mengapa Locianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap
diceritakan ada urusan apakah yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan
membawa-bawa nama Pulau Es."
"Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii....? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat
Hong bertanya penuh semangat.
Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari
Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat
bukan main...."
"Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku dari Pulau Es atau
tidak," jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin
mendengar."
"Locianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi
yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya beritahukan bahwa memang amatlah
penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."
Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat
orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama
besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat
untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian."
"Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi
sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw.
Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati oleh
dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru
lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih
belum mendengar berita karena dia selalu bertapa dipulaunya sehingga engkau pun
belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini
dikuasai oleh seorang ketua baru!"
"Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan
dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun.
"Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai
pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan
telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw,
mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan
pemberontak!"
"Ihhhh....!" Swat Hong berseru.
"Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga berseru.
Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat
memandang penuh selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?"
Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga
kami berdua minta diri, karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberitahukan
teman-teman di dunia kang-ouw agar...."
"Tidak usah, Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri.
Bukankah begitu Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko,
terima kasih atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng
dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita
berpisah sampai di sini, Kwee-koko."
Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik
napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi."
"Soan Cu, kuharap engkau suka menanti dulu di sini dan harap
Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini
untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai."
"Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di
sini dulu, ditemani oleh anakku."
"Tidak, Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi saja melanjutkan
usahaku mencari Ayah. Kau pergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat
Hong......" kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita
memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" Setelah berkata
demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit.
Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil
berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!"
Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun
terpaksa harus mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang
muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama
puterinya yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua ornag itu
berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan
menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya.
Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya. dara itu makin berduka,
menangis sesenggukan di dada ayahnya. Tee-tok menepuk-nepuk pundak puterinya
dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku
tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar
biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku
akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti
manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan
kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau
sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari
lagi mereka!"
Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk
ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya, sukarlah dikatakan
apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya lebih
tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda
yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!
Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin
menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang
nampak jelas karena adanya banyak anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak
terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk
menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang
tidak diketahui oleh orang luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali
menangis seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara
itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih
dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara
sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan
kakaknya itu berjinah secara terang-terangan, tidak bersembunyi lagi dan
biarpun pada siang hari di mana banyak mata para angauta Bu-tong-pai
menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi
Liang atau sebaliknya pemuda itu memasuki kamar subonya kemudian pintu kamar
ditutup dari dalam!
Hati Swi Nio memberontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan
kecuali menangis? Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang
pemuda seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu berahi dan menjadi hamba
nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila-gila!
Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang
pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat
menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin
pula, memang rasa kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua
dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu.
Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The Kwat
Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila berahi. Sama sekali
tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia
menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah seorang wanita yang belum tua
benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat.
Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan
cinta asmara, merindukan kehangatan rasa sayang seorang pria. Adapun pria yang
sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula
mengherankan apabila dia tertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini.
0 komentar:
Posting Komentar