advertisement
Bukek Siansu Jilid 24 - Harimau itu agaknya tidak merasa gentar
menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang
itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu,
dia menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan
menangkis kedua kaki depan harimau . karena tubuh harimau itu berada di udara,
tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia
sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju,
menggerakan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu.
"Tar-tar-tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk,
akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng
memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau
kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di
tempat itu.
Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung
tempat itu, dan orang yang berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang
brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat, matanya
lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya
membayangkan kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali,
dengan pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat
dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian
yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung
tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat
sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala
panjang berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih
bentuknya itu.
Sin Liong cepat menjura dengan hormat dan berkata halus, "Harap
Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah
ini," kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya.
Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata
bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya.
"Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani
mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang itu maka
kalian menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan
biruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya
kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada
binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan
telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan
kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai
karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh
biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan
kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi
juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apalagi
seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat
liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw
yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan
terbuka sikapnya, maka kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya
melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai
seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan
tentram, bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya
dan yang sejak tadi diam saja.
Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan
puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun orang-orang lain yang berada di
situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih
lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya
dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang merupakan murid
kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio Sam dan
berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).
"Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari
kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar biruangmu
dapat mengalahkan harimauku!"
"Boleh!" Soan Cu menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru,
kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan
kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk
mengganggu siapa pun."
"Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh
biruang kami!" Soan Cu masih marah-marah. "Kakek sombong mengandalkan
harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau
itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi hajaran!"
"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan
kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita
saling diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia
tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan
menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia
menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan
melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami
diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan biruang kita, biar dihancur lumatkan kucing
keparat itu. Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di
udara berkali-kali.
Sin Liong melepaskan biruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang
lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan
marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan
siapapun juga, bukan?"
Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api
yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan
tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti
seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak!
Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada yang
menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang
dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula mereka saling pandang dan masing-masing
hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas
itulah yang mulai menerjang maju! Dengan berdiri di atas kedua kaki
belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya
yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali, biruang menangkis
terkaman dan balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak
seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang
amat kuat itu, harimau terguling-guling!
Hanya sepasang matanya saja yang bersinar-sinar girang, akan tetapi
Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan
mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong.
Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah
perkelahian yang amat dahsyat, ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan
seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya
mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan menonton harimau bertanding melawan
biruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan
tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Biruang itu sudah
menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan
tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan
menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya
sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii....!" Soan Cu berteriak, namun terlambat.
Sinar hitam menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini
mengeluarkan pekik mengerikan lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas
bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh biruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding
dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang biruang dengan Hek-tok-ting (Paku
Hitam Beracun).
"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata
mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan
cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg.....!!" Bunga api berpijar ketika
cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar hitam. itulah pedang
Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Tee-tok.
Akan tetapi bukan main kagetnya ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri,
dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang
yang amat kuat.
"Heii, jangan bertempur.....!" Sin Liong cepat menegur, akan
tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun
sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya.
Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok. Melihat
gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat
dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah
mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua
Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.
Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari
tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada
tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman
tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun
bukan cambuk biasa karena cambuk itu terbuat dari ekor ikan hiu yang itimewa
dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya,
cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia
sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!
Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang
tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia
mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi
muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng
Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding
mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata,
"Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani
di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama
besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis
pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan
Cu, melompat mudur dan menghadapi Sin Liong.
"Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah
kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu
menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama
sekali bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami
mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan
Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya
dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan
Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas
kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas
artinya?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak.
"Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum
dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau
hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan
kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang.
Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu
sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu
agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan
dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu.
Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi
melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak
dan dia mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata
lagi sambil tersenyum.
Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian
meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum
akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi
terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus,
namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu
menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong
lalu mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata,
"Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah
mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah
aku menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw.
Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang
ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika
bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan
pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi
hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata
kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak
memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang
sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk
dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku
sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu
takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada
seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia
seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali
membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat
gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara
meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang
itu.
"Tar.....! Tar....! Tar........!"
Semua orang terbelalak memandang, penuh keheranan. Cambuk itu menyambar
bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada dan
punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya
dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang Cambuk lebih
banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong
dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes
dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada seolah-olah
cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya
terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa
panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan
kengerian.
Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi
muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan
sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak
membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan
kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan
seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya
ampuh terhadap kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan
oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak
menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak
keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir
meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis
datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa
itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita,
memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana
kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan
senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan melindunginya kalau Ayah
memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa.....
mengapa Ayah tak bisa melihat orang.....?"
Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang
pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia
terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta
kepada pemuda itu!
"Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada
putera Lusan Lojin.....?"
"Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil
memeluk kedua kaki ayahnya, menangis.
Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu,
tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat
puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang dan
pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?
Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan dan harus diakuinya bahwa biarpun
pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah
perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan
bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san
Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?
"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama
saya Kwa Sin Liong, Locianpwe."
"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di dunia
Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....." Tiba-tiba
Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada
perlunya menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk
membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san, bahkan
Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......"
"Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau
Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar,
engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah
pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang
mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk
menyerahkan kembali baju Sin Liong.
Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya
mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian
harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak
baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan
anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di
sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya.
"Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"
"Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana
dia sekarang.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa
ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu,
pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Locianpwe magsudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik
Soan Cu."
"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan
hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk
menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang
menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada
memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.
Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata
bersinar-sinar, penuh kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu
dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum
dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil
meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang
pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh kegembiraan Tee-tok
menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"
"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia
sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku
menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan
malah menimbulkan salah paham."
"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum
kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Locianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak
ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti
Ong?'
Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi
saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali
bertemu dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh...
kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!" Tiba-tiba
kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu
seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat-
pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan
yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya minta
diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa?
Anakku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya, dia sudah ditunangkan
sejak kecil!" Kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah
mau menyembunyikan sesuatu!
Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil
adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?'
"Kalau ditunangkan dengan engkau tentu saja baik sekali! Akan
tetapi bukan denganmu, dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena
telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku?
Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak
pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu, menunduk dan tak berani
bicara lagi.
"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja
dengan Hui-ji...."
"Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun
aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah,"
Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut
kalau diputuskan begitu saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua
bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana
baru-baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya,
menurut penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh,
betapa kesal hatiku...."
"Harap Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang
mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan dipertemukan kelak."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri.
0 komentar:
Posting Komentar