advertisement
Bukek Siansu Jilid 26 - Karena pemuda ini masih hijau dan tentu saja
tidak berani mulai dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan
perasaan kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakan kaki dalam langkah
pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan
mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi
mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudian
mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa
kelanjutan hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi karena
keadaan hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanita seperti
belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia
lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang wanita yang
berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya
sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercita-cita untuk
mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi dia
perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang
tanpa mempedulikan orang lain lagi.
Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai
gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak
ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan
ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar dalam
dunia persilatan. Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta
berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat
memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masi enak-enak pulas dalam
pelukan muridnya, juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu
kamarnya diketuk dan mendengar suara seorang murid bahwa di luar pintu gerbang
terdapat dua orang tamu, ayah dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki
Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan ketua!
"Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" Kwat Lin
dengan marah.
Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio,
juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu
gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai
yang cantik itu. Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima
kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan
para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran
dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang
berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang
terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu
merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya.
Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan
membiarkan subo mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan
pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin
tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan
sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum.
Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang
tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang
kejahatan. Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot
dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya. Di pinggangnya tergantung
sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh
selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya,
bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan
laki-laki ini dan memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali
namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi
sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai. kakek Coa Hok memiliki ilmu
pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu pedang ini diturunkan pula
kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar
akan malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang
termuda dari Cap-sha Sin-hiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua,
kemudian mendengar betapa banyak sahabat-sahabat kang-ouw yang membela mereka
telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah sekali. Sebagai
orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita
tentang kesaktian wanita itu dan berangkatlah mereka meninggalkan rumah,
berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua
Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke
Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai
dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan
sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan
maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu
menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil
dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar,
cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri
pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi
ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk
membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di
anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya,
sebaiknya, mereka yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah
tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun,
hanya diberi pahala sekedarnya karena yang penting bukan orang-orang yang
membantunya, melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat
kedua tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong
(Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Sudah lama kami mendengar Ji-wi yang
terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat
bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari
Bu-tiong-pai....."
"The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri
menuding ke arah muka ketua baru Bu-tong-pai itu. "Aku mengenalmu sebagai
seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid
Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan
tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan
tetapi, mengapa setelah menghilang bertahun-tahun, engkau kembali ke sini dan
menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan
dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak
mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah
tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan.
"Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya
menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan
Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan
Bu-tong-pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin
menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu,
saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilahkan
Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama
kami."
"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan
omongan manis!" Kakek itu membentak marah.
Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan biarpun
mulut yang berbibir itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung
nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah mencabut pedang dan
kakek Coa berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama
engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu
yang mengembalikan Bu-tong-pai kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau
engkau berkeras terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang
membela kehormatan sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai!"
"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang
Hok-liong-kiamsut sehebat sikap mereka, perlu ditonton dulu!" Tiba-tiba
terdengar suara yang lantang dan merdu ini.
Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat
ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang
muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan mereka
disebut-sebut, juga menengok dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan
biarpun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia
adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan
terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan
kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri
di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih kelihatan
cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar
dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata
itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap!
Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia
berseru keras. "Kiam-mo Cai-li....!!"
Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama
ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis
betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek
Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak
pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat
kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki Penggunungan Lu-liang-san itu
tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul,
tentu akan terjadi malapetaka hebat!
The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang
lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu,
nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan
tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia
melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti
sekarang ini, dia tidak perlu takut menghadapi iblis yang manapun juga!
"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak
menantang aku sebagai ketua Bu-tong-pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang
tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku
menghadapi kalian!"
Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu
mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main
wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu
untuk mengeroyok!
Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan
giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru
Bu-tong-pai! Pantas kau sisebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki
keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es maka
aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena
nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa?
Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris ilmu Pedang
Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku,
barulah kita nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung.
"Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu
tunggu saja sampai aku membereskan dua oran ini. Di sini tidak ada bangku,
duduklah di sini!"
Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan
sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar
suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti
dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah
bangku!
"Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di
sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah
melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia
duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang
yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik.
Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang
bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka
menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini
membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela
sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi
juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang
lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai. Selain itu mereka sudah datang
sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang mereka harus mundur
melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi
dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama
beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup menjadi
pengecut hina!
"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek
Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang di depan dada. Gerakan ini
diturut oleh Coa Khi dan kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang
kuda-kuda yang kuat.
Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua
Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya.
Tongkat itu baginya perlu untuk menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang
menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang
kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak
mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja
hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong!
"Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan
sekali Kwat Lin menggerakan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua
orang gagah she Coa itu sambil berkata, "Mulailah!"
"Sing, sing.... wut-wut-wut-wutttt....!!" Bertubu-tubi kedua
pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak
sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah
udara.
Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan
gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang
didapatnya dari Pulau Es, gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia
dapat mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang
itu dengan gerakan yang cepat dan indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun
indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki tingkat jauh
lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing
mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari
memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan
terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih
lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu.
Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya
membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang
mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam
tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat lin yang cerdik lebih
cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah
pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam
mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud
mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah
dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu
saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka dia cepat
menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan
tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan
lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan
yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari
pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua
Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah
lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka
memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi
mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala
pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah
kembali menghadapi dua orang lawannya. kini dialah yang menerjang, menyerang
dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu
terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah
dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja
tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah
seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang
bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti
dua helai selendang yang di mainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang
menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan
dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus
paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir
dari Hok-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya
sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena
jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu
akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama
sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi
yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke
arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya
menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
“Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat
Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti
Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang lawannya.
"Plak! Plak!" Tamparan jari-jari tangan yang mengandung
tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di
atas dan Coa Hok yang berada di depan.
Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka
merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan
robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah
tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang
mengandung Swat-im-sinkang hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali....!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan
melayang turun dari atas batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua
Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan sejenak
mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau
pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita
yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li,
diantara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi
membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!" Wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih
amat genit itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara
ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh!
Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es,
hatiku tertarik dan sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin
hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah benar engkau Ratu Pulau
Es?"
Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!
Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai perlu apa kita
bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tong-pai dan aku membutuhkan kerja
sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan
kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk
mencapai matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja,
membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?"
"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yan bercita-cita
luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum
kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa
diantara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat."
"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis
berkerut.
"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja
sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat
saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh
kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi
pemimpinnya diantara kita, perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu
kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur!
Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka
Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke
atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan
dipegangnya.
Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkangmu, Pangcu.
Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa
usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin
masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding
sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara
kita berdua."
Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat
lagi dia bahwa betapapun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang
terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini
sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya
untuk membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li
berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan hitam
dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya.
Ujung payung berbentuk pedang itu menusuk dan payung itu sendiri
berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin
menggerakan tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke
depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu
seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti
pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin
menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...! Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis,
pertama dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang hendak mencengkeram dan merampas
tongkat, namun tongkat sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman dua kali
berturut-turut yang dapat ditangkis oleh pedang di ujung payung.
Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali
dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Payung Besi). Kalau saja kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang
amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li
yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi
seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan
terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi
seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti
seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tdak hanya ilmu pedangnya
yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang gerakan tanganya
terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan
berbahaya daripada menggunakan perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya
ini juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat berbahaya dengan
kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi
dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular
hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri
seorang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang
sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun
bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah mewarisi
kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya. Yang jelas, dalam hal
tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li.
Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat
menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung
hawa dingin sehingga lawan yang kurang kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi
beku darahnya. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya
lebih sempurna daripada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya
merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih
dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang
pengalaman bertanding akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena
dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap serangan dan desakannya membuyar oleh
hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina
ini harus mengakui keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa
kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sin-kang
yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu!
Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua
Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia
lalu menghampiri Kiam-mo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan
memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak
sahabat baru itu memasuki gedungnya dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua
orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja
sama. Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan
yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo Cai-li dianggap
sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang
terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua di mana
kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.
Benar saja seperti yang diharapkan, setelah Kiam-mo Cai-li menjadi
pembantunya, banyaklah kaum sesat yang menggabung dan menyatakan suka bekerja
sama sehingga biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya
menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat
nomer satu!
Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar
kota raja menjadi makin luas, dan diam-diam persekutuan ini mulai mengatur
rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan
bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan
sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat dan wanita lihai ini dapat menarik
banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.
Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan
hebat. Kaisarnya, yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan
Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng
ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi
sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah
(712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang
menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan
lain-lain.
Namun, disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda
pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya.
Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa pun dan di negara manapun juga,
Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian,
ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Betapa banyaknya sudah
dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan
kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang
wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745. Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki, betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah. Seorang di antara banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita, dan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia, ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana. Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang.
0 komentar:
Posting Komentar