advertisement
Bukek Siansu Jilid 23 - Melihat orang yang hendak ditangkapnya itu
lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia melihat tubuh
gendut Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
Celaka, pikirnya. Dia harus dapat menangkap pembesar itu, kalau tidak, tentu
akan sukar menundukan semua orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan
kanan, tangan kanan itu bergerak dan pedangnya meluncur seperti kilat menyambar
ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan,
dadanya ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas seketika!
Swat Hong telah melompat dan tangan kanannya kembali sudah mencabut
pedang, kini pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya
merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gu-taijin dan mereka roboh
tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat bergerak, dia sudah
mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil
mengerahkan tenaga.
"Aughhh... add... duh... duh...duhhh... ampun, Lihiap....!"
Gu-taijin berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih.
"Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong,
kembali pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu.
"Mundur kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur
tidak cepat mentaati perintah! Apa minta dihukum gantung semua!"
Mendengar pembesar ini dengan suara galak sekali, seperti biasanya,
membentak-bentak, semua pengawal dan anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan
dan mundur. Apalagi mereka melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur
yang tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari pontang-panting,
kemudian bersembunyi di kolong-kolong meja dan belakang-belakang lemari.
Swat Hong mendengar suara ribut-ribut diluar, suara pertempuran.
Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar
Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju dia membawa
pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua orang memandang heran
melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti itu mampu meloncat sambil
mencengkeram tubuh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar
itu!
Swat Hong masih mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali
wajahnya, menggigil kedua kakinya. Tentu saja dia merasa ngeri berdiri di atas
genteng, di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang
jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah
dia naik ke atas genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut
sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati
perintah Swat Hong dan dengan suara lantang dia berteriak-teriak dari atas.
"Haiii.... mundur semua...!" Dia melihat pasukan keamanan
sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhong-ciangkun, perwira yang mengepalai
pasukan keamanan. "Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!"
Pada saat itu, Kwee Lun sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya
hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil
merobokan belasan orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan
darah. Akan tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan
yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia
lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya
itu dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai pinggul
dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah pula. Namun, sedikit pun
semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah
membuat dia makin bersemangat lagi!
Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan
perintah itu, Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba
menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan
kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah bukan
main sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju
setelah para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika mereka itu
mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciu-wangwe telah tewas oleh dara di atas
genteng itu!
Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas genteng
sambil membawa Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis
itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan
kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Leng-sia-bun!
Maka sambil tertawa bergelak dia pun melompat dan tubuhnya melayang ke atas
genteng di mana dia berdiri di samping Swat Hong dan berkata mengejek,
"Hong-moi, bagaimana kalau kita dorong kotoran ini ke bawah saja
dan melihat perutnya berhamburan di bawah sana?"
"Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin
berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya.
"Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah,
menurutkan kata-kataku." Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu.
Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti
perintah yang dibisiki oleh Swat Hong.
"Hai, dengarlah baik-baik semua pembantuku dan semua penduduk
Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku
baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat komplotan penjahat yang diketuai
oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi, hotel pelacuran, dan
rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan
terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan pelacur dan penyogokan
terhadap para petugas pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah tewas! Anak buahnya
akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah watak dan tidak lagi
melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur, akan
dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing-masing dengan mendapat bekal
masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus dijalankan sebaiknya. Kalau
ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah dan selain
itu, juga Kwe-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan memberi hukuman
terhadap mereka yang tidak mentaati perintah kami ini!"
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai penduduk dan terjadi keributan karena
beberapa tukang pukul yang pernah berbuat sewenang-wenang, tiba-tiba dikeroyok
oleh penduduk! Sekali ini, para pasukan pemerintah tidak ada yang berani
melindungi para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani
melawan, mengalami pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan para wanita
pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang dipaksa menjadi pelacur
dengan berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh-rendah, menangis
saking girang, terharu, dan juga duka.
"Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak kau
laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah
telah diperalat oleh orang jahat dengan jalan sogokan dan selain itu kami akan
datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!"
Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman. Pembesar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki gabah. Ketika dia
mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya
berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi
ngeri sekali.
"Bhong-ciangkun.... tolong.... tolong saya turun....!"
Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang itu berkelebat, maka
dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun.
"Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?"
Bhong-ciangkun berbisik.
"Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." Pembesar itu
berbisik kembali kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku
tadi!"
Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai
bertahun-tahun di kalangan penduduk Leng-sia-bun dan betapa pun orang mencari
kedua orang pendekar itu, tak pernah lagi mereka melihatnya. Memang Swat Hong
dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan
mereka dengan hati pusa.
"Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji. "Luar biasa
sekali! Kalau tidak ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu,
tentu akan lain jadinya! Aku masih sangsi apakah aku akan mampu menaklukan
mereka! Tentu akan menjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati
dikeroyok."
"Ah, sudalah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali
merobohkan restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi
pengeroyokan puluhan orang!"
"Tidak ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi.
Engkau telah membantuku sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah
aku akan dapat melupakan ini! Dan sebagai balasanya, aku akan membantumu
mencari ibumu dan suhengmu sampai berhasil pula!"
Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik napas panjang.
"Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus
mencarinya?"
"Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suhengmu
mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk
mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana,
akan tetapi setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan
sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia Kang-ouw
tentang mereka."
Swat Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengunjungi
kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulu juga seorang anggauta
keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun.
Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan
kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal
Kwee Lun, sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak
mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka bergurau, kasar akan tetapi
kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh
kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya,
pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya.
Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia
mengenal sifat-sifat temanya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras
hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri
kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh atau sombong, sungguhpun kini
dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat
dibandingkan dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di
dalam hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi
petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan
penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat
dan keputusan Swat Hong!
Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san
yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah
Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di
sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta
air hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan
perjalanan yang panas berdebu.
Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok
mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar
percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan main ramenya !" terdengar suara seorang laki-laki,
agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua
orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi
tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu. Akan tetapi si
biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri
tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis
dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit,
mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!"
"Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau
melihat orang mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas
masak air, tehnya hampir habis."
Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di
sini ada jejak suhengku!"
"Ehhh....?” Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di dapur tadi
bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan kalau tidak
salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng."
"Eh? Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin
heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari
suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi
jinak dan menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor
biruang!"
"Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat
berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap kau suka tanyakan kepada
pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!"
Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi
berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak
lama kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang
kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki,
agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya.... saya tidak tahu apa-apa...." begitu tiba di dekat
meja, orang itu berkata.
Kwee Lun menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut?
Kami hanya tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan harimau. Di manakah
kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?” Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang
dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan takut-takut,
ini hadiahnya."
Orang itu menerima hadiah dan setelah memandang ke kanan kiri dia
bercerita.
"Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani Saudara Misan saya
mengantar segerobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar
warung.
"Ke atas mana?"
"Di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami
berdua mengantarkan kayu bakar dan melihat ribut-ribut di sana. Mendengar
gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya,
mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu
adu harimau dan biruang! Entah milik siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu
saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-engkeng yang biasanya di
dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat
Siangkoan Lo-enghiong ada tamu yang membawa biruang...."
"Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak
penuh ketegangan hati.
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa
tahu? Di atas sana banyak orang, murid-murid Lo-enghiong dan orang-orang
seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah, kami tidak
diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya kadang-kadang
saja Siocia atau murid Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan
yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari turun lagi...."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suhengnya "kesasar"
sampai di tempat ini? Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, "Yang kau sebut
Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?"
“Nama lengkapnya mana saya tahu?" Orang itu menggeleng kepala,
kelihatannya takut-taku.
"Julukannya Tee Tok (Racun Bumi), bukan?"
Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah
saya mendengar muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan,
saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali
ke dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh, kiranya Teek-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata
Kwee Lun.
"Twako, siapakah racun bumi itu?"
"Hemm, seorang yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu,
menurut cerita suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah
seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang sudah terkenal sekali. Aku
sendiri baru mendengar namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang
yang gagah perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam
terhadap orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai
seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi.
Sungguh tidak dinyana bahwa dengan orang seperti dia!"
"Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi
Puncak Awan Merah, Twako?"
"Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi biruang itu
milik suhengmu. hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti teek-tok,
segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku tidak
akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata suhengmu tidak
berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan
Tee-tok."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat.
Entah mengapa, betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa suheng berada di sana,
akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ke Pulau
Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan
oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya puncak itu.
Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah
bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti mengapa
puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba di situ di
siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru dan putih seperti
biasa.
"Twako, kedatangan kita hanya menyelidiki apakah suheng berada di
sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau kita datang berterang, biasanya
menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak berniat mencari perkara dengan
tokoh kang-ouw itu, bukan? Maka, sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki
dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita saling bertemu dan kalau
suheng tidak ada di sana, dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali
ke dusun tadi dan bermain saja di sana."
"Baik, Hong-moi, dengan demikian, penyelidikan dapat dilakukan
lebih leluasa dan lebih cepat."
Mereka mendaki terus dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar
di puncak itu, mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan
menyelinap di atas pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar
suara orang dan cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang dilihatnya
membuat dia hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran
dan kagetnya ketika dia melihat suhengnya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua
pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas suhengnya
itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin
Liong kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan agaknya pemuda itu
memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu, karena Swat Hong yakin sekali
bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya itu, apa sukarnya membebaskan diri
dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini!
Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia
memandang kepada orang-orang lain itu. Dua orang yang berpakaian seragam,
memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang
golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar dengan
marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh.
Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi
suhengnya? Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat suhengnya berada di
tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi?
Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama
Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya,
mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja oleh Ouw Kong
Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah
menghilang selama belasan tahu, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya
sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian Kok telah meninggal dunia.
Selain itu, andaikata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat
tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia
dapat mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana
perginya itu?
Kalau Ouw Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong
agar membawa dara itu bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena
sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia
sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya itu. Jauh dari dunia
ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang
penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah
mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan pemuda itu. Apalagi
ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong
Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia
tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami cucunya, akan tetapi
dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di
dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis
yang cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik.
Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan
juga biruang raksasa yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang
disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka,
berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil
menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia
tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju
ke arah barat, ke daratan besar.
"Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau sampai belasan tahun
ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin
Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari
jejak mereka di daratan besar."
Soan Cu tidak membantah dan demikianlah akhirnya mereka mendarat dan
hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong
yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan
Kwee Lun. Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi,
pegunungan dan hutan, maka adanya biruang bersama meraka tidak terlalu
mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh
untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa
mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan
Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman
harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman
ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk
binatang itu, khawatir kalau-kalau biruang itu akan lari dan berkelahi dengan
harimau yang mengaum itu.
"Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah
berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan istimewa yaitu sebatang cambuk
berduri yang menjadi senjata kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa-tawa
gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya.
Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya
kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi
dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat
liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain
membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian
Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.
Soan Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari ini timbullah
kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu
harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan
membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti
kakeknya. Akan tetapi sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada
perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh
kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak
gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya
itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju
ke arah suara harimau yang mengaum.
Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk
menuju ke tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar
dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning berdiri memandang ke
arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka-buka
moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu,
menakut-nakutinya, kadang-kadang mengaum dan tiap kali dia mengaum, kedua kaki
orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia mencoba untuk
bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau yang baik.....
saya..... saya..... A-siong pedagang kayu bakar..... hendak mengirim kayu bakar
kepada Lo-enghiong....... harap jangan mengganggu saya......"
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya
dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan
berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa sehingga
harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke
Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu
bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu.
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau
nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita
memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali berlawanan dengan tubuhnya
yang besar, dia sudah membalik dan menubruk.
"Celaka......!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon
dan menahan napas, membelalakan matanya.
Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan
harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting
ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia
menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri
dan melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia
menangkap ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah
berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan
seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti
moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung
cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan
menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak
pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus
melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyooooo.... kucing binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti
seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri
mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu
yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakan, melangkah perlahan-lahan!
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju
karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja
penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah......!!"
Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah
semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi
matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata,
"Liong-koko, dia.... dia hendak menerkam orang....." ucapannya ini
bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda itu sedang mengganggu
harimau.
"Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat
mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong
kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin
Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan
mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!"
Sementara itu, biruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin
Liong dan diajak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali
kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah
karena menegur gadis itu, tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan
menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata
merah.
0 komentar:
Posting Komentar