advertisement
Bukek Siansu 21 - Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han
Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita mengikuti
pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat
Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong
menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan dia. Dianggapnya Sin Liong
sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin
sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia ketahui kemana
perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk
disekitar lautan itu.
Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati
yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu,
melainkan hanya untuk sekedar menunjukkan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah
perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin Liong mengobati
biruang itu tidak nampak lagi dara itu memutar lagi perahunya dan hendak
kembali kepada Sin Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu
sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan menyatakan
penyesalan hatinya dan dia akan memaafkannya! Saat - saat seperti itu
mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya.
Betapa bingung dan kagetnya ketika
kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi
dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama
bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi
seperti hidup saja! Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia
berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak-teriak
memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar perahu
keluar dari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan
pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari ibunya. Dia merasa yakin
bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki
ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke
selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk
mencari ibunya, dara ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja
kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya.
Pada suatu hari, tampaklah olehnya garis
hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat
mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu
adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan besar,
pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke garis
hitam itu.
Ketika perahunya sudah tiba di dekat
pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat dari
sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki
muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya
sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang
muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja
mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu
meloncat ke daratan, tidak menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak
berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar?
Pulau Es sudah kosong.
Dia akan mencari ibunya di daratan
besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan
dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan
besar dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih
hidup dapat bertemu dengannya. Andaikata tidak, dia pun akan merantau di
daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian pula agaknya
pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini
berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga
berasal dari darata besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan
tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali
pula ke daratan besar!
"Heiii... Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan
berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada
di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang
ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.
"Mau apa engkau mengejar dan
memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik.
Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua
dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang
perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan
kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan
baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang
terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut,
berotot dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda
ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki
tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau
seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat
itu.
Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar
memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang
berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua
tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah
"makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya
yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah, Nona meninggalkan
perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat
gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin
sekali belajar kenal."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya
sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya
dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada
pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan perahu itu
lagi dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya,
aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan
tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing
lancang!"
Sepasang mata lebar itu terbelalak
seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang
luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan
kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda
ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang
terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru
saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua
matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa,
air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar
dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku
Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang
begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau
sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak
terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula
Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku.
Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat
terkenal di dunia kang-ouw dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli juga
hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak
kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya
yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi
harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun
menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia
kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
"Aihh, engkau lebih pantas menjadi
seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu
kepadaku dengan maksud apakah engkau seorang pria minta berkenalan dengan
seorang wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat
lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu dan dia
menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelum aku berangkat
merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita
cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun
Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona
jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali
aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti
Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan
berusaha menyenangkan hatimu."
Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu
apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun
kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan.
"Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana
engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik.
"Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi
kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri,
aku sanggup menghajar mereka!” Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar
berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku
masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu dengan senjataku kipas dan
pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan
di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka
sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang
yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan
senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja
dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata,
"Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi
aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."
“Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang
sengaja meninggalkanya di perahu!" Setelah berkata demikian, Kwee Lun
membalikan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah
kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang
sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di
ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau
memperlihatkan senjata-senjatamu?"
"Aih, kalau tadi aku membawa
senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan
dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka
perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum.
Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah seorang
wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut
dilihat orang."
Mata yang lebar itu kembali terbelalak
penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan. "Apa peduli kata-kata
orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan
mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya
berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor,
juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka
kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri."
Swat Hong makin tertarik, akan tetapi
dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun
lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid seorang tosu
yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin
merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu
lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan!
Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu
tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup
mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau hanya
disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan
memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut
menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!"
Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan
tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.
"Akan tetapi, Nona...." Kwee
Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona
itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu
menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak meragu. Kalau
kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!"
"Srat...!!" Pedang terhunus
sudah berada di tangan kanan Kwee Liu dan sarung pedangnya dilempar ke atas
tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas gagang perak yang telah
dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu dilonjorkan ke depan.
"Aku telah siap, Nona."
Swat Hong memang ingin sekali melihat
sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka tanpa banyak kata lagi dia
sudah meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang
di tangannya itu adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakan
adalah tangan yang mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka
pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan
mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking
cepatnya tubuh itu berloncatan.
"Aihhh...!!"
Kwee Lun berseru keras dan cepat dia
menggerakan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya bahwa dara itu lihai
sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia
menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menandingi dara
yang mengagumkan hatinya ini.
Seperti telah kita kenal di permulaan
cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang
ketika itu dikenal sebagai Sin-tong (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai
Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga pandai
bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Namun terkenal sebagai pertapa atau
pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai dan senjatanya yang berupa hudtim dan kipas
mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya kepandaian itu telah
diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena muridnya
bukanlah seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan pedang.
Pedang dan kipas adalah senjata yang
ringan, kini dimainkan oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah,
tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak sampai
tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya
gulungan sinar yang berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di tangan
Swat Hong.
"Cringgg...!" Tiba-tiba pemuda
itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari tangannya.
Swat Hong tersenyum. Dia tadi sudah
menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal
kecepatan dan tenaga tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya
sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda itu terlepas dalam waktu tiga puluh
jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda
itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau menyerangnya dengan
sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada tingkat penguji dan berlatih
saja. Kalau pemuda itu merupakan lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi
apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus jurus.
"Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku
mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan menyimpan kipasnya. Suaranya
bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau menyerang
sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara
itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat. "Aku
terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu."
"Kwee-twako, kau terlalu merendah.
Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Han Swat Hong...."
Sampai di sini, dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia akan
memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang asing
dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu.
"Ilmu pedang Nona hebat bukan main,
juga amat aneh gerakannya, Selama melakukan perantauan dengan Suhu, dan
mendengar penjelasan Suhu, sudah banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat
perkumpulan besar di dunia kang-ouw akan tetapi melihat gerakan pedangnya tadi,
aku benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han
Swat Hong memperkenalkannya kepadaku?"
"Kwee-twako, sebenarnya aku akan
merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali ini aku menginjak daratan besar dan
aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apalagi
memperkenalkan diriku. Akan tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu
dengan engkau, dan sikapmu menarik hatiku, membuat aku tidak dapat
menyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan satu
janji darimu, Twako."
Kwee Lun memunggut pedangnya,
mengikatkan sarung pedang di punggung lalu membusungkan dadanya yang sudah
membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona Han...."
"Kwee-twako, sekali mau mengenal
orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti
aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih bersikap sungkan
menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak perlu kau menyebutku Nona seperti
orang asing."
"Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun
bertepuk tangan dan memandang ke langit. "Bukan main! Aku benar-benar
berbahagia dapat memperoleh adik seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kau
ceritakanlah kepada kakakmu ini. Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran,
akulah yang akan membereskan untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan
dipertahankan sampai mati!"
Diam-diam Swat Hong merasa girang dan
kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia
memperoleh seorang sahabat yang boleh dipercaya seorang kakak dan sebagai
pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah
kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan
suhengnya dan dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee
Lun!
"Kwee-twako aku baru saja
meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar sana!" Dia
menuding ke arah laut bebas.
"Di manakah tempat tinggalmu itu?
Di sebuah pulau?"
Swat Hong mengangguk, masih agak
ragu-ragu.
"Pulau apa, Hong-moi?"
"Pulau Es..."
"Hah...?" Benar saja seperti
dugaanya, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan luar biasa, bahkan wajah pemuda
itu berubah menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu seperti orang melihat
iblis di tengah hari! "Pulau... Pulau Es...??" Seperti juga semua
orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng saja,
dan pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai
seorang dari Pulau Es, seorang yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini
pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es.
"Kwee-twako! Jangan memandangku
seperti memandang siluman begitu...!"
"Ohh... eh...., maafkan aku,
Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moi-moi!
Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu
luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu
mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang
penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu
akan tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!"
Melihat pemuda itu petentang- petenteng
mengangkat dada seperti orang membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik
penghuni Pulau Es, Swat Hong menjadi geli hatinya.
"Hong-moi, engkau tidak tahu betapa
bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk
merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa
bangga hatiku!"
Swat Hong terkejut. Baru teringat
olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata,
"Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada
siapapun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah
Twako!"
Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak
menceritakan kepada siapapun juga bahwa engkau adalah penghuni Pulau Es?
waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa karena hal yang amat
dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia
berbangga kalau begitu?
"Kwee Lun." tiba-tiba Swat
Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji
memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat baikku, atau kau tidak
mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai seorang musuh!"
"Wah-wah... aku berjanji! Aku
berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan seorang penakut dan
juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali
kepadamu. Aku tidak sudi menjadi musuh! Nah, aku bejanji, biarlah aku bersumpah
bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapapun juga tentang asal-usulmu,
kecuali... hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa
tahu..." Sambungnya penuh harap.
Swat Hong tersenyum lega. "Baiklah,
Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan memegang teguh janjimu. Sekarang
dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri
dari Raja Pulau Es..."
"Aduhhhh...." Kembali mata itu
terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut!
"Twako, kalau kau berlutut atau
melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!"
Kwee Lun berdiri tegak lagi.
"Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan secara
bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu
Moi-moi?"
"Siapa bilang tidak boleh ! Aku
hanya bekas puteri raja! Ayahku telah meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku
sedang mencari Ibuku yang pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa
menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kau ketahui hanya bahwa Ibuku
telah berbulan-bulan meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku
sedang mencarinya. Juga aku telah saling berpisah dengan Suhengku. aku sedang
pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan Suhengku."
"Aku akan membantumu!" Kwee
Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai kebawah siku itu.
"Jangan khawatir!"
"Terima kasih, Twako. Dan sekarang,
engkau hendak ke manakah?"
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku
meninggalkan Pulau Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman,
sekalian memenuhi permintaan penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh
dari pantai ini."
"Permintaan apa, Twako?"
"Beberapa orang penduduk bersusah
payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk
menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu
memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau
sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut
bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku
menghadapi komplotan itu. Setelah selesai urusanku di sana, aku menemanimu
mencari Suhengmu dan Ibumu."
Swat Hong mengangguk setuju. Lega juga
hatinya, karena kini ada seorang teman yang setidaknya lebih banyak mengenal
keadaan daratan besar dari pada dia yang asing sama sekali.
"Baik, Twako. Akan tetapi
perutku...."
"Eh, perutmu mengapa?
Sakit...."
"Sakit.... lapar...!"
Kwee Lun tertawa terbahak-bahak dan Swat
Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan seorang
teman yang cocok wataknya!
"Kalau begitu, tidak jauh bedanya
dengan perutku! mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun terdapat banyak makanan
enak!"
"Tapi .... perahumu itu? Bagaimana
kalau ada yang curi nanti ?"
"Hemm, siapa berani mencurinya?
Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan
kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau
Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku
juga aman."
"Wah, kalau begitu nama Suhumu
sudah terkenal sekali!"
“Memang, dan sekarang aku akan membuat
nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!"
Berangkatlah kedua orang muda itu menuju
ke utara, melalui sepanjang pantai itu lalu mendekati sebuah daerah pegunungan,
menuju ke kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh
dari muara sungai Huai.
Kota Leng-sia-bun merupakan kota pantai
yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah
perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa
oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga merupakan pasar besar pagi
para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko,
hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan kemakmuran kota itu.
Akan tetapi, seperti biasa terjadi
dimanapun juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun
muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan untuk mencari
keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal,
bahkan tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan. Telah bertahun-tahun,
di kota itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang hartawan bernama
Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu-wangwe (Hartawan Ciu). Sebenarnya,
tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang
perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih
dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun
menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah
rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan. Tentu saja
dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam untuk bekerja
kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul, akan tetapi Ciu-wangwe melarang
keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang
karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di
sebuah kota.
Dengan licik sekali, Ciu-wangwe
mempengaruhi para pembesar kota itu dengan jalan seringkali mengirimkan hadiah
kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang dijadikan umpan untuk menancing ikan
besar dan menjinakkan harimau, akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita
muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua
tempat ini juga merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda
sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan restorannya juga amat laris karena
disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu
makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan minum untuk
colek sana sini!
Biarpun banyak penduduk Leng-sia-bun
yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang
yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena rumah judi, hotel dan restoran yang
dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta perlindungan dari para pembesar
setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu
menjadi langganan Ciu-wangwe. Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan
pokoan ( tempat judi) di mana mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya dan tentu
saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang kepercayaan Ciu-wangwe
tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani umum di situ dilakukan
kecurangan-kecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi. Bagi para
pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di
mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang tinggal pilih dan mereka
memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia
restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat!
0 komentar:
Posting Komentar