advertisement
Bukek Siansu Jilid 20 - Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain
adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San-jin yang
meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru saja upacara penguburan
selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah
meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak buah murid
Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh
perkabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui
Bhok San-jin terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang
dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai.
"Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui
Bhok San-jin yang usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini
mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya
bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah
The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal,
sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah bertahun-tahun lenyap
tanpa meninggalkan jejak?
"Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!" terdengar
seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti
air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku
adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian
mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia, siapakah yang akan
menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?"
Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara
mereka, terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin,
dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti
pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah mendengar
bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar
pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak
pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul
hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang suheng, dan kalau
engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga
telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai."
Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang,
dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya
yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula
rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari perak. Pakaiannya sederhana
saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar.
"Siapakah Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak
mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin,
satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin."
Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman gurunya) ini,
seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari
mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek,
kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin
yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan yang sama
sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi
ketua!"
Tosu itu membelalakan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran.
Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang bernama
Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata,
"Sumoi, apa yang kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan
demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga telah
menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara
seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya
paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu
menjadi ketua kita?"
"Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga
pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia
berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin,
bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang
patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak
ada?"
"Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah
kepada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang."
Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan
mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari
wanita itu. "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak
pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu
sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai
akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian
mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam
golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi
bahan ejekan dan bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan Souw
Cin Cu kembali berkata penasaran, "Sumoi aku benar-benar merasa heran
mendengar kata-katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para
suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti
langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau
mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan
penghinaan orang lain. Apa artinya ini?"
"Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap
telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan
kalian."
"Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga
semua suhengku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui
oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari
Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan
suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah mendengar
bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang?
"Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh
Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget, "Pat-jiu
Kai-ong...?? Mengapa...??"
Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar
nama besarnya dan menjadi gentar, bukan? Memamg dialah datuk sesat yang
terkenal itu, yang telah membunuh dua belas orang Suheng. dan peristiwa itu
berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan,
dan Bu-tong-pai sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan
tahupun tidak akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini
Bu-tong-pai hendak diketuai oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum
pendeta Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun
tangan membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi
Pat-jiu Kai-pang di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju
kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus
diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan
memperkuat Bu-tong-pai, barulah tepat!"
Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus
itu kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu
wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas orang
termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Bu-tong-pai merasa
gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin.
Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang dengan marah dan
penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil
mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik.
"The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan
Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kau
pandang tepat untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi
dengan sikap tenang.
"Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari
Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!"
Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid
Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat
disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok
Sanjin dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia
bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali
bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok
San-jin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang
tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman
gurunya!
"Murid Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan
meloncat maju, diikuti pula oleh sute-sutenya. Telunjuk kirinya menuding ke
arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi
murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang
sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami
berkewajiban untuk menghajar seorang murid murtad!" Sambil berkata
demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat.
Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok
San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang
tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika
dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi orang
termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali
tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah
mewarisi ilmu silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau Es! Tingkatnya
sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu
menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh
suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu
mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar pelipis, dia
diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan
tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!"
Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini
terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan
itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang
perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin
terpelanting!
Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan
wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak
dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Bu-tong-pai! Akan tetapi tujuh
orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka
menerjang maju.
Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya
dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu!
Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu
terpelanting dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai
patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja.
Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya,
sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari
Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah
meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing!
"Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?"
Tiba-tiba Bu Ong berteriak.
Anak ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para
pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang
dan Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu
ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh
subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini
mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai.
Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu
mengeluarkan senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para
suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan
bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi
aku."
"Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang
maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur
kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati
perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita
yang tersenyum-senyum itu.
"Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka
berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari
ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?"
"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku
menceritakan kepada siapapun juga."
"Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah
engkau?"
"Bu Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak
itu sudah terlanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak
murid Bu-tong-pai mendengar ini.
Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar
tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul
keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya
itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan
berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid
Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada
pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat
dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau
tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."
Kwat Lin tersenyum mengejek. "Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi
bahwa aku telah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat
kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Bu-tong-pai. Akan
tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin
Bu-tong-pai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan
kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak ada lagi golongan lain yang
berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai
seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu."
"Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai,
terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih
penting dari pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan
persoalan ini dengan kepandaian kita ."
The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku
membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku.
Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama
Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa
membunuhmu."
Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali, karena
mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya
dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari lawannya!
Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid keponakannya
sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai,
sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai!
Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan
wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai lagi,
melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.
The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa
untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga dan saat ini
pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata
demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan
kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang.
Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan
menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua
Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai
lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung
lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada tongkatnya. Dia dapat
menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari
Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan
bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata
apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti
ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di
tubuh lawan!
Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan
pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan
pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang
Swat-im Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu.
Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es,
kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga
sakti yang mendatangkan rasa dingin.
"Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa
hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika
mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu menggerakan tongkat di tangan
kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke
arah kepala wanita itu dari samping.
"Wuuuuttt... plakkkk!"
Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk
memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu dan
mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu
berseru kaget ketika merasa betapa lengan kananya yang memegang tongkat terasa
dingin dan lumpuh!
Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut
dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan
menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan
tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas!
"Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke
belakang dan tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan
sinkang melawan getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan
tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata
luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkanya karena perubahan sinkang yang
berlawanan itu tidak disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri,
terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya.
Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan
kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, tongkat
pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai!"
"Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua
lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua
ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam
segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat
berbahaya!
Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan
andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin
dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan
menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan
tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin
menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan
tampak sinar merah berkeredepan dan menyambar-nyambar dahsyat.
"Bret-brettttt...!!" Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat
mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh
pedang di tangan Kwat Lin, dan sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat
pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang tertotok.
"Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa
aku akan mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas
Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi.
"Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat
tinggi dan memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk
mempertinggi tingkat Bu-tong-pai!"
Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke
depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata,
"Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat
pusaka!" Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah, melihat
tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapapun
juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau
tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan
meninggalkan tempat ini."
Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid
Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan
bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan
mengusahakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan
paling besar.
"Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu memandang ke
sekeliling, kepada para anak murid Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan
murid Bu-tong-pai, dengarlah baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid
Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian
juga sudah tahu betapa aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama
Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian semua agar kalian
menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling
kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama
Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui
Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini yang hendak membelakangi
Bu-tong-pai!"
Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini.
Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan
akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan
tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih
oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil
menanti perkembangan selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin
menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin
dan mereka semua ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah, mulai hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari
Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan
harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan
dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan
yang megah, mewah dan kuat. Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas
melihat Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia
menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun
juga, syaratnya hanya satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang
sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tong-pai.
Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang
wanita yang cantik yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka
banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya hidup
sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya,
berdatanganlah dan masuk menjadi anggauta Bu-tong-pai!
Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk
puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang
berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan
untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk
memberontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi
ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai
Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu-ong,
adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja.
Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan
satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar
sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja
untuk memberontak sendiri dengan mengandalkan kekuatan Bu-tong-pai merupakan
hal yang tak masuk diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari
kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti
dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat
dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu.
Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda
merupakan keadaan yang amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup
memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat
baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya.
Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi diri
sendiri dan bagi orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang
merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain
sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan
kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan
lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi,
akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala yang ada
hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa
mengharamkan dengan segala cara.
Demikian pula terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu, belasan tahun yang
lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita yang gagah perkasa
menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang
suhengnya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi setelah
malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang merobah
seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji
dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari
dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa batas.
0 komentar:
Posting Komentar