advertisement
Bukek Siansu Jilid 19 - Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin
menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan
menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melibat dan tangan The Kwat Lin
menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu
Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang
Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan
oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis.
"Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang
tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh
Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia
terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya
bergerak dengan cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah berusaha
mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat pandangan
matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat, dua kali totokan
lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai
punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah
terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya,
bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang
membuatnya menjadi lumpuh, juga urat gagu di lehernya telah ditotok. Tahulah
dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di tangan lawan, dan dia pun
maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya. Maka dia
memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang
ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh
pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan
telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakkan
pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki
turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.
"Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh,
menjijikkan!"
The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya
bergerak menyambar ke arah leher Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari
totokan urat gagunya dan dapat mengeluarkan suara.
"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut
mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta
mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi
sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam
. Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Supekmu?"
"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah
melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu Ong. Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu
saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam
siksaan. Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu
untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua suheng
yang lain,"
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil
tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara"
dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu
Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat-jiu
Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu!
hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau lihatlah anakmu,
darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali.
Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera,
akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap
saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara
tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan
pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran
melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal
gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman.
Kiranya wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan
keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga
membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah
sendiri!
"Anak... jangan...dengarkanlah...."
"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan
kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat
ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh
menyeringai
"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana
kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baik dan nikmatilah siksaan
anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu. Pertama buntungi kedua daun telinganya
untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!" Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang
itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan
buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong !
Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati
kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan
mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa
nyeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati
yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun
yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak
takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi
siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan
batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .
"Teruskan, Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum
dibalaskan sakit hatinya. Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan
saja, satu demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong.
Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi
semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia
bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali
dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa
Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja
pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini
anak itu sama sekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali
dapat menyiksa kakek itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia
tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah
jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa
dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat
darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi
seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya
lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan
menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu,
yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak
tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah
tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling
lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan.
Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,
hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan
sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita. Sudah
adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang
itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari
kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak
membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh
tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut
menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki
ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga
menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak
lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti
dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya
membabat ke bawah pusar.
Wanita itu tertawa bergelak, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu
pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas.
"Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah
puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan
itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa
di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The
Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini
sebentar!"
Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah
datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu
penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong
yang mandi darah.
0 komentar:
Posting Komentar