advertisement
Bukek Siansu Jilid 16 - Mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu
terbelalak dan mukanya pucat. Dia merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah
bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua anak buahnya
tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari
Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng
tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang
ini adalah pengalaman dari rohnya?
Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa
mengira malah membuat kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti orang
sinting.
"Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau
yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak
dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah, bunulah. Aku toh akan mati bersama dia ini."
Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya,
kemudian berkata, "ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap
sediakan perahu untuknya."
Terpaksa Ouw Kong Ek menggerakan kapalanya memberi isyarat kepada anak
buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan
Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke
tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan
sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar
ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak
dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya.
Tentu dia akan sembuh."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang
pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang
keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada
dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw-tocu,
suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona.
Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau,
sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang.
"Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh
khawatir.
"Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong. "Aku harus yakin
dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi.
Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia
maklum bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang.
"Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani
main-main?"
Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk
memandangi pemuda itu penuh selidik, kemudian bertanya, "Orang muda,
benarkah engkau dari Pulau Es?"
Sin Liong mengangguk.
"Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah
dongeng..."
"Hemm.., memang sekarang hanya tinggal dongeng..." Sin Liong
berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pualu Es yang telah terbasmi
oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan.
"Nguuk... nguuukkk..."
Sin Liong menoleh dan tersenyum "Eh, Enci beruang. Kau
menyusulku?"
Beruang itu menghampiri dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat
Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu.
"Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya
berdiri.
Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan mempunyai binatang
peliharaan seperti itu! "Kau bilang tadi... tinggal dongeng apa
maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus
beruang yang sudah bertiarap di depannya.
"Orang muda she kwa... eh, Tai-hiap... kenapa kau mau membebaskan
aku?"
Sin Liong mengangkat mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi
lebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak
membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya?
"Mengapa tidak? engkau pun membebaskan Soan Cu." Sin Liong
menengok dan tampaklah dua orang tadi datang berlari-lari.
"Kwa-taihiap, Nona sudah sembuh!"
Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih
cepat lebih baik dan harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek menjawab, "Terima kasih. Satu kalipun sudah
cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis seperti ini siapa yang ingin
melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakan dayungnya dan perahu meluncur cepat
meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar
saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di
pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh Kong-kongnya. Para
penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang
bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknya oleh
Ouw Kong Ek dan Soan Cu.
"Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami," kata
Ouw Kong Ek.
"Kalau engkau tidak segera datang entah bagaimana dengan aku.
Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar
penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku?
Bukankah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang
dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah
dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam
pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang.
Sin Liong maklum akan ketidak senangan hati kakek itu, maka dia menarik
napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak menyangka yang
bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di
sini?"
Sin Liong mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah
karena puterinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju.
"Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun tidak melakukan
pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau
memukulku, akan tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku
roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan
semua catatanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan
menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain
tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang,
telah musnah."
"Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya,
terbelalak.
"Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk
suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang
telah kosong sama sekali..." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat
malapetaka yang menimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia
dan Sumoinya terluput dari bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan
melongo kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam
sekejap mata! kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk
tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es
yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah!
Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak,
engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air
matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah
menangis. “Mengapa Taihiap sekarang mencarai Nona Swat Hong ke sini? Apa yang
terjadi dengan dia?"
Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu
untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan
betapa di jalan mereka menjadi bingung dan tersesat karena badai telah
menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga mereka mendarat
di gunung es dan betapa dia menemukan beruang hitam.
"Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka
karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati
beruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segera menceritakan
kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak
dantang ke sini?"
Soan Cu menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Sin... eh,
Taihiap."
"Soan Cu mengapa engkau meniru kakekmu, bersungkan kepadaku dan
menyebut Taihiap segala?"
"Biarlah, Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas
kalau dia menyebut namamu begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan
pantas disebut Taihiap karena kepandaianmu tinggi sekali."
"Kau katakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini,
mengapa?"
"Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik
antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di
sini, Kong-kong jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin
mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang
tidak baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak
mendahului datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya
karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
“Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke
sini?" tanyanya.
"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar
di tepi pulau."
"Agaknya mereka juga diamuk badai."
"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang selagi
kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang
menggantikannya, aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang
hati-hati, karena memandang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak
ada engkau yang datang di waktu yang tepat, Taihiap."
"Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh
semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para
bajak itu.
"Ugh-ugh....!" Kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak
macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidak memandang rendah dan
kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami.
Kalau binatang-binatang Pulau Neraka bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana
mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang
amat penting bagi Taihiap."
"Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa
banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan
permohonan lagi?" jawab Sin Liong.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan
diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali,
cepat membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya?
Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat
mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan
menghadapi hal yang sulit.
Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena
kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu
berkata, "Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain
kecuali Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang
merupakan tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena
itu, setelah kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah
bebas dan kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan
orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena
itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama
Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur
agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini.
Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah
disangkanya!
"Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah
seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat
tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."
"Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku
sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai
saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh,
aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka
ini."
Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk
menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya
kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau memang dia suka merantau
meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak keberatan mengadakan perjalanan
bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku menerima usul perjodohan
Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat
oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan
tinggal di sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja
yang mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan
betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu
hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada
pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan
sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari
Sumoimu itu, aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula
bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kong-kongnya, berangkatlah
Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu.
Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan
pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia hampir tidak dapat melihat
lagi Kong-kongnya bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkanya
sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan bercucurannya air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan
kakekmu, masih belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang
sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak
terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan
kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing
lagi!
"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan
tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh
menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggalkan pulau
itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi.
Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat
penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu
berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau
tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya
suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik buruk,
senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar,
melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di luar
merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan
menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk,
dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat
menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti
APA ADANYA, tanpa penilaian. tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal
susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan
pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak
terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung
depannya yang meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah
agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu
memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan
masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak
sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek
moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju kepada
kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
0 komentar:
Posting Komentar