advertisement
Bukek Siansu Jilid 06 - "Kalau
kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh
menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh
yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka.
Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali
karena sifat welas asih pada diri Locianpwe."
"Tapi kau hendak belajar silat, mau kau pakai untuk apa? Bukankah
kau lebih dibutuhkan dan berguna berada disini bagi penduduk sekitar
Jeng-hoa-san?"
"Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk
mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula
kalau kepandaian teecu disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya
bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas
orang ini, tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama
sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas
orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa
menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk
menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan
kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah
dan enak, tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita
ditempat yang dingin itu."
"Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena
tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah
yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya
sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah.
Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini
memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar
biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar
daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai
murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia
mengambil anak ini sebagai murid lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang
yang dihalaunya pergi tadi. Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah
Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah,
Sin-Liong. Mari kau ikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak.
Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang
luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh!
Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi?"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu
disini begini saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?"
"Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan
kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa
teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia
tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang
terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari
ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama
saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia
dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar
ini dan dia mengangguk-angguk.
"Lakukanlah kehendakmu, aku menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang
budiman!" Dengan wajah berseri Sin Liong lalu menggali lubang.
Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan
menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun
dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu
saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan
pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya
itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan
akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki
tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh,
menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan
tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru
dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau
dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat,
ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah
ajaib." Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya
cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu
mencangkul.
Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan
menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya
berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat
sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu.
Tentu saja hati Sin Liong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau
lebih tepat diseretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air
matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya menguruk atau menutup lubang
itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat
sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita
pergi!"
Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia
harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat
cepatnya meninggalkan Gunung Jeng-hoa-san, entah kemana!
Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka
matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang
berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya
melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia
cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong berhenti.
"Ada apa?"
"Suhu, disana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han
Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali.
Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang
sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu
diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan kesana-sini.
"Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka
adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak
diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang
akan kau lakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia
sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh.
Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap
mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun
tercium baunya yang hampir membuatnya muntah. Dengan langkah lebar Sin Liong
menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan.
Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai
menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang
biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak
pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk
mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau
kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking
girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib
yang mempunyai pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia
meloncat bangun, lari menghampiri…… yang telah menggali lubang beberapa
sentimeter dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk
mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...? "
"Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!"
Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung
sepatunya mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia
menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat.
Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata
saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah
mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong.
Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang
itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang
itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima kasih atas bantuan
Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh....!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia
mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut
budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya,
melainkan dia "terpaksa" oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar
gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh
mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh.
"Mari kita pergi, Sin Liong!"
Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu
berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan
Jeng-hoa-san.
Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit (dijepit di bawah
lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan
bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya.
"Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan
marah!"
"Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang
sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati disana..."
Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok
tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak
bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa
orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia tersenyum dan
melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu.
Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh,
Suhu! Dia seorang wanita!"
Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat
betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan
langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!" Wanita yang
mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika
pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke
belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis
tersedu-sedu dan bergulingan diatas tanah menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan....aughhh, jangan....lepaskan aku....lepaskan ...! Jangan
bunuh mereka...!"
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong
memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa
dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
"Toanio (Nyonya), kau kenapakah...?" Sin Liong melangkah ke
depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi
muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu.
Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh.
"Hi-hi-hi-hikk!" Aneh sekali, ketika wanita itu tertawa, Han
Ti ONg melihat wajah yang amat cantik manis!
Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang
entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria
yang terlalu besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus,
mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan
membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia
menangis lagi. "Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis
terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang
Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah
perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari
dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari
Bu-tong-pai?" tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku
lagi!" Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya.
Han Ti Ong menangkis dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam
keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba
kau periksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu
bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang.
"Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi
begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat
teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han
Ti Ong megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan
ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga
tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun!
Sin Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari
ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi
sekarang dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan
pernapasan yang panjang dan tenang.
Ketika gurunya mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata,
"Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa mata wanita itu yang
tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya.
"Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang
ahli pengobatan pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu
menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian
turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak
keberatan."
"Hemm, apa lagi?"
"Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia
ikut dengan kita."
"Kau..............kau gila.......?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu
datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari
Cap-sha Sin-hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah
mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong.
Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu
dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin
itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu
mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik
dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah
"Ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani
membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik
hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini.. entah
mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau
rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti
bagaimana perkembangannya."
Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Dengan hati mangkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya
karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman,
melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan
kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan
menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang
sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh
kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagiaan dada bajunya
terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari
Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kang-ouw
seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan
pulau itu kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan
mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni
Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan
sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti.
Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan,
para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama
sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw. Kerajaan di Pulau Es itu dibangun
oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat
sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang
kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan
kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan
menggunakan sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau
di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang
melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu
Kepulauan Jepang!
Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan
perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah
pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat
persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya
cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambil keputusan untuk menjadikan
Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang
setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya.
Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan berdirilah
sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga
raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya
hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni
pulau itu berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu
yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah
terganggu. Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan
ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula
pelajaran ilmu yang tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari
raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang
sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya
meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar
daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka
Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia sering kali
pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan!
Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya
sehingga dia adalah orang terpandai diantara para keluarga raja di Pulau Es.
Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil
banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya
bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin
terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw
sungguhpun dia jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias
gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw
untuk mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi
di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini mengahadapi tujuh orang tokoh besar
dunia kang-ouw.
Para Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga
kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah
untuk menjaga agar "darah" kerajaan tetap "aseli". Akan
tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh
cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil
dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah
"biasa" ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan
raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya
mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga
raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang
mengatasi kecantikan para puteri raja!
Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri
yang pada waktu itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil,
cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi
nama Han Swat Hong (Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk
menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir saat Pulau Es dilanda
angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih
itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi
yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu
terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)..."
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya,
dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher
ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa, "Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa
mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam
apakah yang menghalanginya?"
"Ibu, kau...kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau
ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia." Memang watak Liu
Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang
menurun pula kepada Swat Hong.
"Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu
kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan tak terasa lagi dua
titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot
turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu
kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri
lupa akan kedukaanya dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan
menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata.
Swat Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang dianggapnya rindu
kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir.
"Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu
begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?"
0 komentar:
Posting Komentar