advertisement
Bukek Siansu Jilid 04
"Desss......!"
Karena gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau
keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan
Sin-tong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap
Sin-tong karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan
kedua tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh
wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada
angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan
bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke
belakang! Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih
dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa,
"Ha-ha-ha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah
saja!"
"Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan
dapat merampas Sin-tong dari tanganku!" Wanita itu berkata dan memandang
tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
"Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku
membutuhkannya untuk menyempurnakan ilmuku..."
"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh,
Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk
kau hisap darah, otak dan sumsumnya. Jangan Sin-tong!"
"Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu
mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak
akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat
dan menyenangkan?"
"Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya
adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian
Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!"
Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak
dapan menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil
berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu
payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
"Trakkk!"
Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua
tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong
cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang
menyambar ganas.
"Trakk! Trakkk!!"
Dua kali senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan keduanya
terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa
dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan
pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam
karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat
cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul
seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu
sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo
Cai-li dengan bermacam sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan
hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun
diantara lima orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat
ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka
yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing
telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding
memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa
di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal
penuh ketentraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan
kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia
menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang
sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu
duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda
duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul
lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang
dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh
tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok,
kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang,
matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa,
"Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya orang gagah saja yang tertarik
kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat
lain!"
Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu
Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terang-terangan. Orang ini
bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi
dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan
seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas
menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan
blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi
sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah
ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu
Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang
yang tahu dimana tempat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang
muncul dimana saja secara tak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini
di Hutan Seribu Bunga.
"Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!" kata orang kedua.
"Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini.
Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin-tong untuk
menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut."
"Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali
sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian
begitu tak tahu malu untuk menyangkal!"
Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang
beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai
bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya
seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang
dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan
kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke
kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit),
bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal
racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw
Cee Thian atau Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat
yang dia beri nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah
menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang
diberinya nama Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok,
dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi
nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin.
"Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala macam iblis
dapat berbuat sesuka hati sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan
keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang
Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50
tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan
Baja) yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata
tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak,
dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki
lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli
silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai
kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus,
usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah
menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip
sebatang mauwpit alat tulis pena panjang.
"Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak
sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua),
Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah
hormatku."
Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan
tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas
mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti
dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan
ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan
senyum simpul manis sekali dia bertanya, "Harap maafkan, akan tetapi
siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun
dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?"
Laki-laki itu tersenyum dan menjawab halus, "Saya yang rendah
dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka
bersunyi di Beng-san."
Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihhh,
sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai
seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang
mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san.
Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang
indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti
kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!"
Ucapan terakhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama
yang kasar-kasar tadi. Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu
berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan
kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah
kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia
kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut
dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab
To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)!
"Amat sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya tiada kurang. Terisi penuh, namun tampaknya meluap
tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan. Yang paling lurus,
kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang paling fasih,
kelihatan gagu. Api panas dapat mengatasi dingin, air sejuk dapat mengatasi
panas, Sang Budiman, murni dan tenang dapat memberkati dunia!"
"Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah Lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut
Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap
Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata, "Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal
seorang tosu miskin dan bodoh."
"Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li,
"Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian
tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan
dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi
pakaian indah di sebelah dalamnya."
"Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya
menjadi merah.
Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar.
"Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu
Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat
kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian
berdua yang membunuhnya!"
"Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau
mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus
seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang.
"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima
mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong
menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami
memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami.
Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang
terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya
semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing
memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang
lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk
kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya?"
"Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh
sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok
kami berdua? Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang
kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu.
Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan
pengeroyokan!" kata Kiam-mo Cai-li yang cerdik.
"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak
marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup
untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!"
"Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan
dia pun melangkah maju.
"Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki
Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
"Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang
saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!"
Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di
depan dada.
"Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju,
menggoyang kebutannya. "Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak
turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan
sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku
hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu
ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya
terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita
bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah
menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?"
"Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.
"Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak
mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini,
kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh
Sin-tong.
"Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati
sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya
atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus
terang!"
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan
ingin menyerang Thian-tok yang licik itu.
"Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak
mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?"
Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.
"Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!"
"Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju.
"Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah
setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan
Sin-tong."
Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila
seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh
orang itu.
"Sin-tong yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara
kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana
karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak
mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan
menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup
sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi
seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!"
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian
dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit
karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu,
apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat
begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri
dan tidak dapat menjawab.
"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan
Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan
sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah
bersamaku, Sin-tong, dan kelak engkau akan menjadi raja Pengemis. Bukankah kau
suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah
golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu
Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang
dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang
menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga,
hanya kembali menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah
Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa
di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan
selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu
meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku,
Sin-tong."
"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang
kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang
anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi
muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi
gurumu, Sin-tong."
"Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan
kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan
suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng,
akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak
kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong."
"Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di
kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku
berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!"
"Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong.
Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak
seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku)
ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon
Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan
memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi
seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!"
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk
bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka
sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus
menggetar dan penuh duka.
"Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat
ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat
kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut
siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian
tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani
ini."
"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata
Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.
"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak
Thian-tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau
memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua
ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil
mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun
banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu
dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak
memiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang
lain.
"Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang
khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li.
"Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang
menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!"
"Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat
melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama
seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa
cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang.
"Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita
bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan
demikian, satu-satunya orang yang keluar sebagai pemenang, jelas dia lihai
daripada yang lain."
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah
mengelurkan senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak
perlahan-lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan
menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat
yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak
dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata
masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya
sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar
senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan
siapa.
Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu,
seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal
yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya,
sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut
karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak
juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras
ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he
Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi
Pat-jiu Kai-ong.
Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat
cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian
berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia
pun tidak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan
rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila
melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk
merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa
membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu
rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah
mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan
mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau
wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia
mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang
paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat
seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh
dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran
dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih
lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya
mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton
pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan
itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan.
Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya
seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu
ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan
baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara
baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang
dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga
mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan
antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis
tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak
lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu.
Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh
orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat
Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena
serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di
tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah
mengadu tenaga dan keduanya tergetar sampai muntahkan darah namun berkat
sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum,
menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi
tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah
digulungnya dan tubuhnya melayang turun.
"Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh
orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil
benar-benar tak tahu malu sama sekali!"
Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung
menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini
memiliki khikang dan singkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya,
langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi
Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat
mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki
gagh yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang
mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.