advertisement
Bukek Siansu Jilid 01 - pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng
Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan
cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali
rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan
kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir
halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu,
meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun
dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda
jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi
tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah
kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan
mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah
yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam,
menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini
terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau
burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai
namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk
menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu
merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada
pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara
burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak
suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari
tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar
yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah
ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang
bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan,
seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di
antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis
lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
kedua alisnya!
Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan
bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah
yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang
mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh
dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan
ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung
sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan
pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda
yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan
berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya
yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak
pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.
Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan
gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena
selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun
manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu
menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak
lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa
diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak.
Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya
matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa
panas barulah dia berhenti.
Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu
itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam,
kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan
barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap
bersembunyi di balik puncak barat. Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula
penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib),
demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan
lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia
sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa
dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di
sekitar lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini
ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang
benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang
ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena
di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang
benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tetumbuhan beraneka warna,
penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini
memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela
dan selalu menolak kalau diberi uang!
Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan
diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma
menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan
ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan
banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi
akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu,
yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan
ketularan
Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita datang
membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan
menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya
akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa
orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali,
potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni
Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun
dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia,
seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat
Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi
anak-anak dan menjadi calon Lama.
Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang
dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang
ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di
kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Dia
bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya
karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di
angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat
yang cukup kaya di kota Kun-leng.
Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam
hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini
hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika
mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir
dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan
bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di
tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan
roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin
Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa
mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil
di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang
berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah
terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.
Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin
Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu
terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu
dibuka, semua laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak
dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera
terdengar teriakan "maling…maling!" dan orang-orang itu mengurung
tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam
keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki
mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah
ayah-bundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang
yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak
"Manusia kejam! Tangkap mereka!"
"Tidak! Bunuh saja mereka!"
"Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!" Dan terjadilah pergumulan atau
pertandingan yang berat sebelah.
Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela
diri, akan tetapi mereka itu maling-maling biasa, mana mampu menahan serbuan
puluhan bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?.
Anak laki-laki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya
sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan
pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali
dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian. Dia berdiri di
depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di
depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti
sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para
pembunuh ayah-bundanya.
Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh
merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika
kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus
digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat, tubuh tiga orang itu
berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi
orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang
mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang
manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh
manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang
patah!.
Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri
melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat
itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu!
Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat
ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu
dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin
banyak dan dia tidak kuat menahan lagi Dilihatnya wajah orang-orang itu semua
seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam,
penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan
gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa
ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil
menangis tersedu-sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan
rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang
tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa
yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong
terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk
di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh
menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada
keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan
di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san. Setelah siuman, anak kecil
berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian
tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah
musim semi.
Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah
mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang
rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam
hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain,
di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia.
Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan
ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan
hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa
ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga
melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai
mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal
itu.
Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan,
kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak
mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak
ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga
orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan
melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia
cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak
sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali.
Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian
hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan "bersembunyi" di tempat
itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin
pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat
tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan
di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan
tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan
menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan baginya. Demikianlah, anak ini
tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai
keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para
tetangga sampai habis ludes sama sekali!
Dengan alasan "mengamankan" barang-barang berharga
dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini
tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan
tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga
melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang
dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan
"sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan
oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian
dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung
apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang
mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur.
Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung,
dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan
mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil
dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik,
melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun
ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang
ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin
Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari
daun-daun obat di gunung-gunung Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam
hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam.
Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih
dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang
beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak
karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat
memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari
pengalaman.
Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan
bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap
pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mengandung obat ini sehingga
penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya
saja dia dapat menentukan khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja
dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga,
buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru
terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang
memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati
Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini
menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang
banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya
untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih
yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup
sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di
kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu
tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah,
dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman.
Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap
keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan
sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan
menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan
setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa
disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari bulan
dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di
tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.
Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali
memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin
Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian
setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin
pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah
dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang
menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam
tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang
membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang
kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa
pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan
penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut
minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua
bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia datang
terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan
menghitam.
"Sin-tong, kau tolonglah aku..."
Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam
dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang
minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat
dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun, belum
pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka
itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu
saling bermusuhan dan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan
manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenal apa artinya
ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan
dan kebahagiaan.
"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau
pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?"
tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar, benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw
(Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan
tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang
lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau
tidak segera menolongku, aku akan mati, Sin-tong."
Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang
di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek.
Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan
membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik
nafas panjang.
"Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur
dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika
kau datang kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding
dengan orang lain?"
Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya
melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil
berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu
adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau
menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok,
mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok
orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu
orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu
tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang.
Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya
lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan
lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan
kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu Sin-tong
dan akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidak membutuhkan terima kasih dan
balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini
begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan
mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan
kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta
terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti
darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di
sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti
sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka
lukamu itu, Lo-enghiong?"
Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia
kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap ketika
dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib! Maka dia lalu
menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan
matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah
bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri
itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan
membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah
terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat,
Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit
paha yang terasa nyeri itu. Sin Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang
halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan
baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu
dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak
dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin
terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan
hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam
luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek itu berseru keras
ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor
lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu.
"Harap kau pertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan
hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan
dan ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit
ini." Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun
yang sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian
ditutupnya luka itu dengan empat helai daun.
Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa
rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang karena
rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya
diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu.
Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk
dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk
sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil
membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya
kepada Sin-hek-houw. Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali
menghela napas panjang.
"Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti
engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang
anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih,
Sin-tong dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa
engkau terancam bahaya besar".
Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu
dengan heran.
"Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu.
Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu, membawa
namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi
kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya,
menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak
partai dan orang-orang gagah yang siap untuk datang kesini dan untuk membujukmu
menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal.
Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi
maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan
maksud keji terhadap dirimu."
Sin liong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa
takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia
ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya
yang akan menggangguku?"
Kakek itu memandang terharu. "Ahh...kau benar-benar
seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan
melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau
menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang
bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin-hek-houw
menggigil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari
aku?"
"Di dunia kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat,
manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua
orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang
seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian
pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor
satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan
wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis
sendiri! Celakalah engkau kalau sudah berada di tangan kakek ini
Sin-tong."
"Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak
membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan
mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau
seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku
khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang
wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik,
rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah
dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua
kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya,
watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong tidak
memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak percaya."
Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri.
"Aku sudah memberi peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau,
marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun
yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar
berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh
penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu.
Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan
lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini,
sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah
mencari obat. Selamat tinggal, Sin-tong dan sekali lagi terima kasih."
"Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru
belasan langkah menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau
ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak
biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong,
itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya
dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak
ajaib..sayang..!"